Suara.com
·17 Desember 2022
In partnership with
Yahoo sportsSuara.com
·17 Desember 2022
Suara.com - Maroko besutan Walid Regragui menjadi tim paling fenomenal di Piala Dunia 2022. Datang ke Qatar dengan status underdog, tim berjuluk Singa Atlas ternyata mampu mencapai babak semifinal, yang merupakan sejarah baru bagi negara Afrika di ajang Piala Dunia.
Tiga tim yang menduduki 10 besar peringkat FIFA; Belgia, Spanyol dan Portugal, dilibas Maroko yang bermain efisien dan efektif di Piala Dunia 2022 di bawah komando Walid Regragui.
Namun, gaya bermain Maroko di Piala Dunia 2022 dikritik sejumlah pihak. Permainan defensif dinilai para pengkritik kurang menarik. Namun, Regragui tidak ambil pusing.
Winger Timnas Maroko, Hakim Ziyech (kiri) berebut bola dengan winger Timnas Kroasia, Ivan Perisic pada laga Piala Dunia 2022 di Stadion Al Bayt, Al Khor, Qatar, Rabu (23/11/2022) petang WIB. [FADEL SENNA / AFP]
Sebagaimana diketahui, negara-negara Afrika memiliki sejarah manajerial buruk yang berdampak pada kinerja tim nasional mereka di Piala Dunia. Sebut saja Nigeria atau Pantai Gading yang memecat pelatih yang sukses membimbing mereka ke Piala Dunia 2010, atau Togo yang menendang Stephen Keshi yang membantu mereka lolos ke Piala Dunia 2006.
Keputusan-keputusan tersebut ternyata berdampak buruk. Kinerja para pemain dan performa tim-tim tersebut merosot.
Maroko sebenarnya juga mengikuti jalan yang sama ketika mereka memecat pelatih Vahid Halidhodzic, tiga bulan sebelum dimulainya Piala Dunia 2022. Pemecatan tersebut terjadi lantaran perselisihan Halidhodzic dengan para pemain dan federasi yang menyebabkan bintang mereka Hakim Ziyech keluar dari tim.
Tidak memiliki banyak waktu, Federasi Sepak Bola Maroko pun memilih Walid Regragui dengan harapan pendekatannya yang mengutamakan defensive play dapat membantu tim meraih kesuksesan.
Keputusan tersebut terbayar. Regragui tidak hanya membantu Maroko mencapai semifinal Piala Dunia, akan tetapi juga mengubah wajah sepak bola Afrika di pesta akbar sepak bola sejagat.
Selama bertahun-tahun, sepak bola Afrika lebih mengutamakan individualisme, dengan tim-tim yang terlalu mengandalkan pemain bintang seperti Samuel Eto'o (Kamerun), Didier Drogba (Pantai Gading), Michael Essien (Nigeria). Fokus pada satu individu, kekompakan tim pun kerap dikorbankan, dan lini lain dalam tim menjadi rentan.
Regragui, yang punya pengalaman bermain di klub Eropa dan punya pengalaman melatih klub Afrika, memahami anomali tersebut. Ia pun melawan arus dan memilih tidak berpaku pada kehebatan individu demi terciptanya permainan yang efektif.