Nasib Miris Eks Klub Kevin Diks, Vitesse Arnhem yang Terancam Punah | OneFootball

Nasib Miris Eks Klub Kevin Diks, Vitesse Arnhem yang Terancam Punah | OneFootball

In partnership with

Yahoo sports
Icon: Bolatimes.com

Bolatimes.com

·4 Agustus 2025

Nasib Miris Eks Klub Kevin Diks, Vitesse Arnhem yang Terancam Punah

Gambar artikel:Nasib Miris Eks Klub Kevin Diks, Vitesse Arnhem yang Terancam Punah

Bolatimes.com - Vitesse Arnhem, klub tertua kedua di Belanda, menghadapi akhir yang menyedihkan setelah izin profesional mereka dicabut oleh KNVB pada Juli 2025.

Keputusan ini membuat klub yang pernah menjadi destinasi pinjaman bintang muda Chelsea seperti Nemanja Matic dan Mason Mount hingga pemain Timnas Indonesia, Kevin Diks, terancam punah.


Video OneFootball


Menurut Sjoerd Mossou, penulis kolom AD, kepada talkSPORT pada Senin (4/8/2025), masalah Vitesse berawal pada 2010 ketika klub diambil alih oleh investor asing yang terkait dengan Roman Abramovich, mantan pemilik Chelsea.

Dokumen rahasia Cyprus Confidential yang bocor pada 2023 mengungkap bahwa Abramovich diduga mendanai Vitesse dengan pinjaman hingga €117 juta, meski klub dan Chelsea berulang kali membantah keterlibatan finansial ini.

KNVB sempat melakukan dua investigasi pada 2010 dan 2014, namun tidak menemukan bukti pelanggaran.

Baru setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, KNVB kembali menyelidiki dan akhirnya menjatuhkan hukuman pengurangan 18 poin pada April 2024, yang mengakibatkan degradasi Vitesse dari Eredivisie setelah 35 tahun.

Pada 2018, Valery Oyf, rekan bisnis Abramovich, mengambil alih kepemilikan Vitesse.

Namun, sanksi UE terhadap oligarki Rusia pasca-invasi Ukraina memaksa Oyf mengumumkan rencana penjualan klub.

Upaya menjual saham ke investor Amerika, Colby Perry dari Common Group, gagal karena KNVB menolaknya akibat kurangnya transparansi dana.

Vitesse gagal memenuhi persyaratan lisensi, seperti menyediakan anggaran seimbang dan akuntan audit, hingga akhirnya kehilangan izin profesional mereka.

Kini, klub menghadapi ancaman kebangkrutan dan terpaksa memulai kembali dari level amatir, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun karena sistem piramida sepak bola Belanda yang tertutup.

Mossou menyoroti bahwa Vitesse terlena dengan dana asing, bermimpi menyaingi Ajax, PSV, dan Feyenoord, alih-alih kembali ke akar mereka sebagai klub papan tengah dengan kepemilikan lokal.

“Mereka seharusnya memulai ulang dengan pemilik lokal, mengurangi pengeluaran, tapi mereka memilih jalan berisiko,” ujarnya.

Sistem kepemilikan anggota, seperti di Bundesliga, lebih umum di Belanda, dan Vitesse menjadi contoh buruk ketika mengejar investasi asing tanpa pengawasan ketat.

Kisah serupa juga dialami ADO Den Haag, yang kini terpuruk akibat masalah kepemilikan asing.

Lihat jejak penerbit