Dari Estadio Nacional Hingga Hillsborough, Jalan Panjang Korban Bencana Stadion Dapatkan Keadilan | OneFootball

Dari Estadio Nacional Hingga Hillsborough, Jalan Panjang Korban Bencana Stadion Dapatkan Keadilan | OneFootball

In partnership with

Yahoo sports
Icon: Bolasport.com

Bolasport.com

·2 Oktober 2022

Dari Estadio Nacional Hingga Hillsborough, Jalan Panjang Korban Bencana Stadion Dapatkan Keadilan

Gambar artikel:Dari Estadio Nacional Hingga Hillsborough, Jalan Panjang Korban Bencana Stadion Dapatkan Keadilan
Gambar artikel:Dari Estadio Nacional Hingga Hillsborough, Jalan Panjang Korban Bencana Stadion Dapatkan Keadilan

BOLASPORT.COM - Kericuhan berujung bencana di stadion sepak bola yang memakan banyak korban kerap butuh waktu bertahun-tahun untuk diusut hingga terungkap tuntas.

Kabar menyedihkan datang setelah kerusuhan pecah pasca-laga Arema FC Vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022).


Video OneFootball


Dalam laga itu, Arema FC harus takluk 2-3 dari Persebaya.

Ini adalah kemenangan tandang perdana bagi Persebaya setelah 23 tahun atas rival bebuyutannya itu.

Alih-alih ditutup dengan perayaan, kemenangan tipis Persebaya justru berakhir dengan luka yang menyakitkan untuk semua orang.

Suporter Arema yang tidak puas dengan kekalahan timnya masuk ke lapangan.

Chaos tidak terhindarkan hingga menyebabkan korban meninggal hingga 174 orang dan tidak kurang dari 180 orang lain luka-luka.

Jumlah korban dan skala kejadian di Kanjuruhan menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu tragedi sepak bola terburuk sepanjang masa.

Yang harus disayangkan adalah insiden di Stadion Kanjuruhan pun bukan yang pertama terjadi.

Beberapa yang pernah menjadi preseden buruk di antaranya adalah kejadian di Estadio Nacional, Lima, Peru, Accra Sports Stadium di Ghana, dan Hillsborough, Inggris.

Kejadian di Estadio Nacional yang dikenal sebagai Estadio Nacional Disaster menelan 328 korban jiwa dan 500 orang luka-luka pada 1964.

Laga kualifikasi Olimpiade antara Peru dan Brasil berujung ke tragedi setelah suporter tuan rumah masuk ke lapangan untuk protes terhadap gol Peru yang dianulir.

Polisi merespons dengan melepas gas air mata yang mengakibatkan kepanikan dan penonton berdesak-desakan ingin keluar.

Korban jiwa pun tidak terhindarkan karena luka berat atau karena sesak napas.

Jumlah 328 jiwa menjadi angka korban tertinggi sepanjang sejarah tragedi di stadion sepak bola, itu pun dicurigai belum menjadi angka resmi.

Sebab, disinyalir masih ada sejumlah suporter yang tewas bukan karena terinjak-injak, melainkan karena ditembak. Hanya saja, bukti untuk indikasi ini tidak kunjung ditemukan.

Tragedi di Accra hampir serupa dengan di Estadio Nacional, bermula dari kemarahan suporter pada laga tim Accra Hearts of Oak dan Kusami Asante Kotoko pada 2001.

Suporter Kusami meluapkan kekecewaan karena tim mereka kalah 1-2 dengan melemparkan barang ke lapangan dan mencopot kursi stadion.

Aparat pun menyikapi dengan manuver menembakkan gas air mata dan peluru karet.

Suporter yang panik berusaha keluar, tetapi pintu stadion terkunci. Selama 30 menit terjadi insiden suporter yang terinjak-injak. Sebanyak 126 orang tewas hari itu.

Salah satu tragedi besar lainnya adalah tragedi Hillsborough.

Sebutan ini mengacu pada kejadian pada semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest di Stadion Hillsborough, Yorkshire, Inggris, 15 April 1989.

Kelebihan jumlah massa di area standing menyebabkan suporter terinjak-injak dan menyebabkan total 97 korban tewas dan 766 lagi luka-luka.

Tiga insiden ini pun mendorong para keluarga dan rekan korban untuk mencari keadilan.

Nyatanya, perjuangan mereka harus melewati jalur yang berliku dan tak jarang menemukan jalan buntu.

Jurnalis BBC, Piers Edwards, dalam laporannya pada 2014 mengatakan pemerintah Peru tidak pernah menunjukkan usaha mengungkapkan kasus di Estadio Nacional.

Hanya ada dua orang yang dihukum karena kejadian mengerikan itu.

Mereka adalah Jorge Azambuja, komandan polisi yang memberi perintah menembakkan gas air mata, dan Hakim Benjamin Castaneda.

Azambuja dihukum 30 bulan penjara, sedangkan Benjamin Castaneda didenda karena terlambat menyerahkan laporannya dan tidak mengawasi proses otopsi 328 korban tewas.

Pada 2014, Kepala Institut Olahraga Peru, Francisco Boza, berinisiatif mengontak keluarga korban dan mengundang mereka ke misa.

Namun, belum ada langkah lain lagi yang ditempuh pemerintah untuk meminta maaf terhadap kejadian ini.

Hal serupa terjadi juga di Ghana.

Laporan dari Vice pada 2021 menyebutkan tidak ada satupun pihak yang bisa diminta pertanggungjawaban oleh keluarga korban.

Presiden Ghana kala itu, John Agyekum Kufuor, mendirikan komite untuk menyelidiki kejadian di Accra Sports Stadium.

Komite tersebut merekomendasikan beberapa hal, termasuk untuk program manajemen krisis saat berhadapan dengan kerumunan dalam jumlah besar.

Rekomendasi tersebut tidak pernah diikuti oleh administrasi Kufuor dan para suksesornya.

Di Inggris, usaha keluarga korban tragedi Hillsborough butuh waktu lebih dari dua dekade untuk mendapatkan keadilan.

Tuntutan korban untuk penyidikan menyeluruh terhadap kejadian pada 1989 itu mulai menemui titik terang pada 2009.

Menteri Budaya, Media, dan Olahraga Inggris kala itu, Andy Burnham, memerintahkan dibentuknya panel independen untuk membuka dan menyelidiki kasus ini.

Alhasil, pada 2012, temuan panel independen itu mengungkapkan aparat di lokasi kejadian menutup-nutupi kejadian sebenarnya dan menyalahkan suporter dengan dalih bahwa mereka datang ke stadion dalam keadaan mabuk dan tidak tertib.

Temuan komite tersebut juga menyimpulkan bahwa setidaknya 41 kasus kematian sangat bisa dicegah jika prosedur penyelamatan lebih memadai.

Laporan yang sama juga mengkritik penanganan dari aparat yang bertugas, salah satunya keputusan mereka membuka pintu keluar tanpa mempertimbangkan risiko fans akan merubung dan berjejalan.

Penyidikan terus berlanjut hingga pada 2014, Kepala Kepolisian Yorkshire yang menjabat pada 1989, David Duckenfield, mengaku bersalah.

Ia keliru mengambil keputusan, serta menimpakan kesalahan kepada pihak korban.

Dalam laporan awalnya, Duckenfield mengklaim bahwa fans-lah yang membuka paksa pintu stadion.

Pada 2016, penyidikan menyimpulkan 96 orang yang meninggal pada 1989 dibunuh karena pelanggaran hukum akibat kelalaian aparat, kesalahan desain stadion, dan respons terlambat tenaga kesehatan.

Konklusi ini sekaligus membersihkan nama suporter Liverpool yang dianggap turut andil dalam kejadian mengerikan di Hillsborough.

Namun, perjuangan para keluarga penyintas belum selesai, karena petugas keamanan yang bertanggungjawab atas kejadian itu tidak mendapat hukuman dari pengadilan.

Tiga kejadian di atas jadi contoh bagaimana kasus kematian suporter karena kericuhan di stadion mendapat tanggapan dari pihak pemangku kepentingan terkait.

Sikap dan inisiatif pemerintah, asosiasi, hingga keluarga korban dan penyintas yang menentukan seperti apa para korban diperlakukan; mendapat keadilan atau hanya jadi deretan angka dan nama yang nantinya terlupakan.

Lihat jejak penerbit