Stats Perform
·23 Mei 2020
In partnership with
Yahoo sportsStats Perform
·23 Mei 2020
Wilfred Ndidi mengenang masa kecilnya yang dilalui sebagai penjual buah, yang menjadi tantangan dalam hidupnya sebelum mewujudkan mimpi menjadi pemain sepakbola profesional.
Lahir dan besar di Lagos, Ndidi, sebagai putra tentara, mengalami masa-masa sulit dalam membantu keluarganya untuk bertahan hidup sembari memenuhi keinginan masa kecilnya.
Meski dicoret dari skuad Nigeria U-17, Ndidi pada akhirnya mampu berkembang dan tampil bersama Nigeria di Piala Dunia U-20 pada 2013 di Turki, sebelum kemudian membuka pintu baginya memperkuat skuad senior dan hingga kini menjadi pemain kunci.
Dalam obrolan dengan siniar Out of Home, gelandang berusia 23 tahun itu mengungkapkan kisah bagaimana dirinya membantu ibunya menjual buah dan makanan sebagai bagian dari usahanya menyambung kehidupan keluarga.
"Meski pun kami mengalami pasang surut dan mencoba untuk melunasi beberapa tagihan, saya selalu ada untuk ibu saya," kata Ndidi. "Ibu saya adalah penjual makanan dan saya membantu dengan menjajakan dagangannya. Saya tidak menyesali itu karena saya tumbuh dewasa dengan semua kesulitan untuk bertahan hidup. Tidak ada buah yang tidak saya jual."
"Saya adalah bocah yang ada di pasar dan dikenal sebagai penjual hasil tanah, karena itu yang ada setiap musim. Sebut saja saya menjual paprika, tomat dan alpukat. Kami pada dasarnya menjual buah-buahan dengan musim yang berbeda. Semua ini dilakukan demi bertahan hidup di dalam dan luar zona militer."
Tekad kuat Ndidi untuk bisa mencari nafkah melalui sepakbola mendapat larangan keras dari ayahnya, yang lebih menginginkannya fokus pada pendidikan di sekolah. Hanya saja, kendala keuangan membuatnya tidak bisa melanjutkan sekolah.
Pada beberapa kesempatan, ia sering dimarahi dan dihukum oleh ayahnya karena bermain sepakbola. Takdir memang menuntunnya ke dunia sepakbola, karena mungkin tidak akan terwujud tanpa dirinya yang meninggalkan Lagos.
"Sulit, karena ayah ingin saya bersekolah tapi tidak punya uang," lanjutnya.
"Yang membuat lebih mudah adalah ketika saya pindah dari Lagos. Saya mendapat kebebasan karena ketika ada ayah, jika saya pergi berlatih dan ia pulang sebelum saya, maka saya harus menjelaskan dari mana saya pergi. Ketika saya mengatakan dari bermain sepakbola, saya dimarahi."
"Ada suatu ketika saya dicambuk dengan kulit sapi 'Koboko' dan itu membekas seperti tato di badan saya. Saya sampai tidak bisa memakai baju, karena terasa lengket dan menyakitkan. Itu semacam hukuman disiplin militer."
Berkat performa impresif di Liga Belgia bersama Genk, Ndidi akhirnya membuka jalan menuju Liga Primer Inggris ketika Leicester merekrutnya senilai £17 juta pada Januari 2017.